Saturday, February 25, 2006

RUU APP, Mengapa Menimbulkan Penolakan?

Sabtu, 25 Februari 2006
Ninuk Mardiana Pambudy
Pro-kontra terhadap substansi Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi atau RUU APP yang merupakan usulan Dewan Perwakilan Rakyat sepekan ini terus bermunculan. Mereka yang mendukung menyebutkan, pornografi sudah terasa dampaknya sehingga harus segera diatur.
Mereka yang keberatan terhadap RUU APP menyatakan setuju bahwa pornografi tidak bisa dibiarkan, harus diatur. Persoalannya adalah pada bagaimana cara mengaturnya dan itu yang menyebabkan kelompok yang keberatan menolak substansi RUU tersebut.
Dalam diskusi publik di Gedung DPR Kamis lalu, Komisioner Komnas Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Myra Diarsi mengkritik RUU ini sebab definisi tentang pornoaksi dan pornografi yang tidak jelas, longgar sehingga dapat menjadi pasal karet, dan rancu sebab mencampuradukkan antara pornografi, seksual, kecabulan, dan erotika.
Pasal 1 RUU ini menyebutkan, pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika. Pasal 2 menyebut, pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum.
Pasal 4 isinya: Setiap orang dilarang membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan /atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa. Sedangkan Pasal 25 (1) berbunyi: setiap orang dewasa dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual.
Di dalam bagian penjelasan dijelaskan apa yang dimaksud dengan bagian tubuh yang sensual. Penjelasan Pasal 4: Yang dimaksud dengan bagian tubuh tertentu yang sensual antara lain adalah alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya.
Myra mempertanyakan definisi pornografi dan pornoaksi yang justru sama sekali tidak melindungi perempuan. Dia menyarankan Panitia Khusus (Pansus) RUU APP mencari pembanding dengan peraturan negara-negara lain.
Salah satu definisi pornografi, menurut Myra, selain bersifat grafis, pornografi juga mengandung unsur vulgar, eksplisit, mengandung kekerasan dan menghina/menyubordinasi perempuan.
Komnas Perempuan yang telah mengkaji mendalam RUU ini bersama Komnas HAM, dan lembaga-lembaga lain juga menemukan naskah akademis yang menurut prosedur harus menyertai usulan undang-undang untuk memberi alasan undang-undang tersebut memang diperlukan, ternyata tidak memenuhi syarat. Menurut Myra, isi naskah itu lebih bersifat tuduhan dan berisi stereotipe yang tidak didukung data empiris.
Secara terpisah, di ruang jumpa pers Gedung DPR pada hari yang sama Masyarakat Tolak Pornografi (MTP), Aliansi Masyarakat Anti-Pornografi dan Pornoaksi, Media Ramah Keluarga (Marka), Jaringan Prolegnas Pro Perempuan (JP3), LBH Jakarta, Koalisi Perempuan Indonesia, Puan Amal Hayati, Kalyanamintra, Fatayat NU, Perempuan Mahardika, Senjata Kartini, dan ICRP minta agar Pansus menunda pembahasan dan pengesahan RUU APP. Penundaan ini untuk memberi waktu Pansus melakukan kajian lebih mendalam dan melakukan studi banding ke negara-negara yang telah memiliki aturan tersebut.
Secara terpisah, dalam jumpa pers di Gedung DPR pada hari yang sama, Ketua MTP dan Marka Ade Armando menyebut RUU itu tidak masuk akal. ”Kami semua menentang pornografi, tetapi RUU APP banyak mengandung kelemahan dan cacat. Jangan terburu-buru, sebab persoalan terbesar adalah pada definisi,” tandas Ade. Pernyataan sama dikemukakan Ratna Batara Munti dari JP3.
Menurut Ade, definisi pornoaksi sangat tidak jelas maknanya, masuk ke ruang privat dan tidak mungkin diregulasi. Definisi pornografi tersebut menyamaratakan semuanya di dalam pornografi dengan sanksi yang sama. Menurut Ade, bila RUU ini jadi disahkan, tidak terbayangkan banyaknya media yang harus tutup. ”Perempuan yang memperlihatkan paha dianggap melanggar undang- undang, perempuan yang berpakaian tradisional akan dituduh melakukan perbuatan kriminal. Isinya tidak masuk akal,” katanya.
Harus mendengar
Anggota tim perumus Pansus RUU Pornografi dan Pornoaksi dari Komisi VI Sukmadewi Jakse (DPP PDI-P) dalam jumpa pers mengatakan, meskipun pansus masih harus mendengar lebih banyak suara masyarakat, tidak cukup hanya 70 komponen yang sudah datang ke DPR selama ini.
Menurut Sukmadewi, undang-undang seharusnya disusun dengan mendengar setidaknya 60 persen suara masyarakat. Karena itu, Pansus merencanakan untuk berkunjung ke Batam, Bali, dan Papua untuk melihat keragaman sosial budaya masyarakat setempat. ”Karena RUU ini menyentuh berbagai aspek kehidupan, Pansus memang harus bekerja dengan lebih hati-hati,” kata Dewi.
RUU ini sendiri diusulkan oleh anggota DPR sembilan tahun lebih lalu, tetapi selalu ditunda walaupun telah melalui dua kali pergantian presiden. Sekarang RUU ini diajukan kembali dan disetujui Rapat Paripurna DPR untuk dibahas menjadi undang-undang.
”RUU ini ditunda pada masa lalu karena ada kekhawatiran akan terjadi disintegrasi bila kelompok yang pro sama banyak dengan kelompok yang menolak. Sekarang dipaksakan karena ada perasaan bila tidak dibahas seperti tidak melakukan tugas (sebagai anggota DPR). Saya khawatir ada anggota DPR yang berkomentar, tetapi sebetulnya tidak paham substansi RUU. Misalnya kata sensual, sangat multitafsir. Lalu juga suara dimasukkan di situ. RUU ini tidak layak untuk diteruskan jadi undang-undang sebab multitafsir. Karena itu, saya inginnya tidak dibahas terburu-buru,” tambah Dewi.
Selain perdebatan di atas, bila kita memerhatikan isi RUU ini, tampak bahwa RUU ini membedakan antara orang dewasa dan anak-anak, seperti penggunaan kata ”orang dewasa” pada definisi pornografi dan pornoaksi. Padahal, semua orang tahu, pornografi juga melibatkan anak-anak dan remaja sebagai obyeknya.
Karena definisinya yang menyasar pada perempuan, tidak heran bila kelompok-kelompok perempuan dalam jumpa pers dan diskusi Kamis lalu, maupun kelompok-kelompok perempuan yang bertemu dengan anggota Pansus RUU Pornografi dari Fraksi PKS dan Fraksi PDS pada Rabu (22/2) menyebut, RUU ini berisi kebencian pada perempuan. Bukannya melindungi perempuan (dan anak), malah perempuan dianggap sebagai penyebab merebaknya pornografi.
Solusi
Myra Diarsi, Ratna Batara Munti, dan kelompok-kelompok masyarakat Arus Pelangi, LBH APIK Jakarta, LBH Jakarta, Pokja Perempuan Mahardhika, Srikandi Demokrasi Indonesia, Yayasan Jurnal Perempuan, Senjata Kartini, Seknas Koalisi Perempuan Indonesia, Komnas Perempuan, Kalyanamitra, dan Kepak Perempuan dalam kesempatan terpisah mengajukan solusi dari RUU APP. Mereka mengusulkan memasukkan pengaturan mengenai pornografi ke dalam revisi Undang-Undang KUHP yang tengah disusun pemerintah.
Selain itu, sudah tersedia berbagai perangkat undang-undang yang mengatur mengenai pornografi seperti KUHP, Undang- Undang Penyiaran, Undang-Undang Pokok Pers, dan UU tentang Perlindungan Anak.
Hal-hal yang bersifat moral landasan RUU APP antara lain menyebut soal moral tidak diselesaikan dalam undang-undang, melainkan melalui pendidikan di rumah dan sekolah. Alasannya, hal-hal menyangkut moralitas tidak dapat disamaratakan bagi setiap orang.
Mereka mengingatkan, meskipun dimaksudkan melindungi perempuan dan anak-anak, RUU ini mendiskriminasi dan berpotensi mengkriminalkan perempuan dan meningkatkan kekerasan terhadap perempuan. Jangan ketidakmampuan negara mengatur pornografi disalahkan kepada perempuan. (LAM/MH)