Friday, May 11, 2007

Dari Jaringan ke Gerakan Politik

OPEC, G8, G20, APEC, NAFTA, WTO.
Siapa yang tidak mengetahui kebesaran nama-nama itu?. Rasa-rasanya hampir semua orang mengetahui organisasi-organisasi tersebut. Meski ada yang permanen dan ada pula yang tidak permanen serta berbeda-beda kepentingan, namun organisasi yang disebutkan diatas dapat dikategorikan sebagai organisasi jaringan. Jaringan solid yang berbasis kekuatan ekonomi, berbasis kawasan atau teritori maupun berbasis produksi. Demi satu atau lebih tujuan, negara-negara maju dan para pemilik modal menghimpun dirinya dalam sebuah jaringan.

Jika Goliath saja masih merasa perlu untuk berjejaring, lalu bagaimana dengan masyarakat sipil?

Singkatan L4[1] sudah sangat terkenal di kelompok masyarakat sipil apalagi kalau menyangkut berjejaring. Ada puluhan bahkan ratusan jaringan masyarakat sipil di Indonesia, tapi organisasinya itu-itu saja. Problem akut lainnya ialah persoalan komitmen, meski sebuah jaringan kadang bisa melibatkan ratusan organisasi namun yang nantinya aktif hanya satu atau dua organisasi saja. Itulah kenyataan riil yang terjadi dalam jaringan masyarakat sipil.

Dalam sejarahnya, berjejaring dalam masyarakat Indonesia bukanlah sebuah hal baru. Semenjak pra kemerdekaan rakyat Indonesia telah menyadari bahwa berjejaring adalah salah satu alat perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Kaum muda berkumpul dari seluruh pelosok tanah air untuk membuat sebuah kesepakatan bersama (baca: Sumpah Pemuda). Berjejaring kemudian diyakini sebagai salah satu alat strategis dalam mencapai sebuah tujuan.

Berbagai kelompok masyarakat sipil yang mulai berkembang pada tahun 1980-an pun amat sadar akan pentingnya sebuah jaringan dalam mengadvokasikan isu-isunya. Dengan semakin besarnya sebuah jaringan maka diharapkan akan meluasnya solidaritas dan menguatnya dukungan publik. Pekerjaan pun mungkin akan lebih ringan, karena sumber daya semakin bertambah. Itu adalah hal ideal yang diharapkan dari sebuah pembangunan sebuah jaringan.

Dibawah ini adalah dua contoh jaringan yang saya anggap telah berhasil mendapatkan manfaat dari apa yang disebut sebagai kerja berjejaring.

Belajar dari Petani
Bagi para aktivis di Indonesia terutama yang berfokus pada isu agraria, mendengar nama La Via Campesina tentu tidak asing lagi. Tiga tahun setelah jaringan internasional para petani ini menggelar konferensi pertamanya di tahun 1993 maka pada konferensi kedua tahun 1996, mereka telah berhasil melibatkan 67 organisasi tani dari 37 negara. Di Indonesia, salah satu anggota jaringan yang paling aktif adalah Federasi Serikat Petani Indonesia.

Menurut informasi yang diperoleh dari www.viacampesina.org, jaringan ini bertujuan untuk mengembangkan solidaritas dan kesatuan diantara organisasi-organisasi tani kecil sehingga tercapai tujuan pokoknya, diantaranya adalah relasi ekonomi yang setara dan berkeadilan sosial, serta tercapainya kedaulatan pangan. Sebagai sebuah jaringan, La Via Campesina cukup berhasil dengan baik mengorganisasikan dan mengadvokasi berbagai programnya. Melalui mekanisme demokratik, setiap organisasi memiliki hak untuk memimpin jaringan.

Keberhasilan kerja jaringan internasional biasanya terletak pada kekuatannya dalam membangun kampanye publik bukan hanya di level nasional namun juga di level Internasional. Selain itu juga pada adanya pengakuan dari komunitas Internasional, sehingga mereka dapat melakukan advokasi secara intensif di dalam pertemuan Internasional seperti di PBB dan lembaga-lembaga Internasional lainnya. Kesulitan terbesar biasanya terletak pada masalah intensitas koordinasi, karena para anggota terpencar di berbagai negara maka sulit untuk membahas sebuah persoalan secara mendalam.

Kendati Jaringan berskala Internasional memiliki banyak hal positif, namun banyak pula kritik yang kerap diterima oleh Jaringan Internasional. Pertemuan-pertemuan Internasional kerap dinilai sebagai ajang aktifis semata, tanpa kemudian membawa signifikansi bagi gerakan di akar rumput. Tentu saja hasil kerja kongkret pengorganisiran dan berjejaring kaum tani di masa akan datanglah yang dapat menjawab kritik tersebut.

Yang Lokal Yang Bergerak
Pengalaman berjejaring lainnya yang cukup menarik untuk dipelajari adalah pengalaman pembangunan lingkaran Bolivarian pada tahun 2001 di Venezuela. Jaringan organisasi berbasis rakyat yang pada mulanya dibangun untuk menguatkan proses partisipatori demokrasi dan merespon kebutuhan di level komunitas dan berbasis rakyat ini kemudian berkembang menjadi penyokong keberhasilan Chavez dalam memenangkan Pemilu. Nama Lingkaran Bolivarian itu sendiri diambil dari nama salah seorang Pahlawan Pembebas yang amat terkenal di Amerika Latin yakni Simon Bolivar. Lingkaran-lingkaran ini tersebar bukan hanya ada diseluruh negeri Venezuela, namun juga ada di beberapa negara lain. Pada awal pembentukannya, lingkaran Bolivarian ini berjumlah 8.000 dengan satu lingkaran terdiri atas 7 hingga 12 anggota komunitas masyarat. Namun saat ini tercatat sudah ada kurang lebih 130.000 lingkaran. Lingkaran ini bertugas untuk melakukan pendidikan di kelompok masyarakat miskin, berhubungan dan memberdayakan masyarakat untuk mengatasi persoalan-persoalan di komunitas.[2]

Jika kita hendak berbicara mengenai demokrasi partisipatoris maka lingkaran bolivarian adalah bentuknya yang paling nyata. Lingkaran ini sungguh-sungguh melibatkan massa rakyat dalam setiap kegiatannya, membuat rakyat berkuasa dan masuk dalam sebuah gerakan politik yang nyata. Jaringan rakyat ini bukan hanya berisi sekumpulan aktifis, namun juga berisikan rakyat yang sadar akan kehendaknya dan tahu apa yang akan dilakukan.

Demikianlah dua contoh kerja jaringan yang memiliki karakter yang berbeda namun dengan tujuan akhir yang sama yakni mencapai kehidupan yang lebih sejahtera dan berkeadilan. Baik jaringan berskala Internasional maupun lokal, tanpa adanya komitmen yang kuat dari para anggota jaringan untuk mencapai tujuannya, dan kerendahan hati untuk saling bekerja sama, maka hasilnya akan sia-sia.
Pekerjaan berat dan besar untuk membangun jaringan sebagai alat perjuangan menanti kita.


Tunggal Pawestri
Pendiri SEKAR


tulisan ini dimuat pada majalah ALIANSI, Vol 33 No 37 Desember 2006-Januari 2007

[1] Loe lagi, Loe lagi = Kamu Lagi, Kamu Lagi
[2] http://www.arsn.ca/bolivarian_corner/circle.htm